cover
Contact Name
Firman Freaddy Busroh
Contact Email
firmanbusroh@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnallexlibrum@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota palembang,
Sumatera selatan
INDONESIA
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 24073849     EISSN : 26219867     DOI : -
Core Subject : Social,
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda (STIHPADA) Palembang yang bertujuan sebagai sarana media akademik membahas permasalahan ilmu hukum. Berisikan tulisan ilmiah, ringkasan hasil penelitian, resensi buku dan gagasan pemikiran. Redaksi mengundang para dosen, ahli, mahasiswa, praktisi dan masyarakat yang berminat untuk menuangkan hasil pemikirannya kedalam tulisan ilmiah. Jadwal penerbitan setahun 2 (dua) kali pada bulan Juni dan Desember.
Arjuna Subject : -
Articles 9 Documents
Search results for , issue "2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019" : 9 Documents clear
Pengadaan Tanah Demi Kepentingan Umum Dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (Ppjt) Trans Sumatera Endang Purwaningsih; Derta Rahmanto
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (323.755 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.140

Abstract

This research studies the underlying philosophy on public-use-related regulations, particularly the ones related to land acquisition in PPJT (Trans-Sumatra Highway Management Agreement) and to its implementation. This research is restrictedly held in Lampung and Palembang, using literary study and field study with statute, historic, and sociological approaches so that the data is collected from both relevant literature and field sources. Based on the research findings, the underlying philosophy on this matter—in accordance with the 1945 Constitution as is meant in UU No.2 2012—suggests that land acquisition for public use should be aimed at improving the public welfare based on Pancasila and the 1945 Constitution. In attempts to execute the development programs for the people, the government is in need of plots of land whose acquisition must be based on humanity, democracy, and justice. Its implementation must be based on such principles as humanity, justice, benefit, certainty, transparency, agreement, participation, welfare, sustainability, and harmony. The research finds that the land acquisition in this study has been implemented properly and accordingly. The land acquisition is on the voluntary basis and it is decently compensated. The compensation amount refers to the standard compensation amount as is meant in UU No.2 2012 (SPI 2013 series 306: 3.10). Abstrak: Penelitian ini mengkaji landasan filosofis aturan ‘kepentingan umum” bagi pembangunan; khususnya dalam pengadaan tanah pada perjanjian/kontrak pengusahaan jalan tol (PPJT) yang dilakukan pada masyarakat terdampak tol Trans Sumatera, dan pelaksanaan pengadaan tanah pada pengusahaan tanah tol Trans Sumatera. Penelitian ini dibatasi di Lampung dan Palembang, menggunakan literary study dan field study dengan statute approach dan historish approach, dan sociologisch approach sehingga data diperoleh baik dari kepustakaan, maupun lapangan. Berdasarkan hasil penelitian, landasan filosofis kepentingan umum dalam pengadaan tanah tol pada PPJT Trans Sumatera sesuai dengan UUD 1945 dan dituangkan dalam UU no.2 tahun 2012 adalah pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintah perlu melaksanakan pembangunan; untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil; dilaskanakan berdasarkan asas: kemanusiaan; keadilan; kemanfaatan; kepastian; keterbukaan; kesepakatan; keikutsertaan; kesejahteraan; keberlanjutan; dan keselarasan. Pelaksanaan pengadaan tanah pada lokasi penelitian telah sesuai dengan rencana dan melalui tahapan yang semestinya, dengan PPJT standar/ baku. Pengadan tanah dilakukan secara sukerela dan nilai ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Nilai ganti kerugian diartikan sama dengan Nilai Penggantian Wajar Tanah dan Tegakan sebagaimana dimaksud dalam UU nomor 2 tahun 2012 (SPI 2013 seri 306: 3.10). Kata kunci: pengadaan tanah, kepentingan umum, perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) Trans Sumatera Daftar Pustaka Harsono, Boedi. 1999. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya Jilid I, Jakarta: Djambatan HB X, Sri Sultan.2002. Reformasi Agraria Perspektif Otonomi Daerah dalam NKRI. Bandung: Mandar Maju. Hatta, Mohammad Haji, 2005, Hukum Tanah Nasional dalam Prespektif Negara Kesatuan, Yogyakarta:Media Abadi Hermit, Herman, 2004, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung: Mandar Maju Kalo, Syafrudin, 2004. Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk KepentinganUmum, Makalah - Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara Koeswahyono, Imam. 2008, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum, Makalah. Jurnal Konstitusi Vol.1, Mahkamah Konstitusi RI Mahendra, A. A. Oka, 2007, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi dan Pertanahan, Cet.I Jakarta: Sinar Harapan. Muliadi, 2011.Politik Hukum Kenotariatan. Handbook. Universitas Jayabaya Soemardjono, Maria SW. 2005. Kebijakan Pertanahan Natara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas cet.3 ed.Revisi Sitorus, Oloan. Dkk.2004. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum cetakan I.Mitra Kebijakan Tanah Soimin, Soedharyo. 2005. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Ed.ketiga Jakarta: Sinar Grafika Sutedi, Adrian. 2007. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika …………..2008, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Jakarta:Sinar Grafika Peraturan Perundangan Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undnag-Undang nomor2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 jo. Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Kepmenhut Nomor 292/ Kpts-II/ 1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan website Iwan Nurdin dalam RUU Pertanahan: Revitalisasi, Revisi atau Mengganti UUPA 1960? Suara Pembaruan Agraria, online. Radar Sukabumi, Juli, Jalan Tol Seksi I dibangun, Bisnis Sukabumi, online Suara Karya online http://www.rmol.co/read/2015/07/01/208452/Pemerintah-Kebut-Pengerjaan-1.000-Km-Jalan-Tol
Implikasi Hukum Perseroan Terbatas Yang Didirikan Oleh Suami Istri Terhadap Harta Bersama Dalam Perkawinan Ermia Zanasri; Zainul Daulay; Busyra Azheri
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (490.329 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.142

Abstract

Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal serta didirikan berdasarkan perjanjian. Dari ketentuan diatas dapat diperhatikan bahwa dalam mendirikan Perseroan Terbatas harus ada paling sedikit 2 (dua) orang. Dalam prakteknya ditemukan pasangan suami istri mendirikan Perseroan Terbatas. Pada prinsipnya suami istri tidak dapat mendirikan Perseroan diantara mereka berdua saja, karena suami istri dalam suatu rumah tangga yang tidak adanya perjanjian kawin berada dalam satu kesatuan harta, dan mereka dianggap sebagai satu pihak saja. Permasalahan yang timbul adalah Bagaimana Keabsahan Perseroan Terbatas yang didirikan oleh suami istri? Dan Bagaimana kedudukan harta suami istri dalam Perseroan Terbatas? metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara serta studi kepustakaan Yang dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku literatur dan karya ilmiah yang berhubungan dengan masalah ini. Pendirian Perseroan Terbatas oleh suami istri tidak dilarang oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Asalkan suami istri yang akan mendirikan Perseroan Terbatas memenuhi syarat-syarat dari perjanjian. Karena Perseroan Terbatas merupakan persekutuan modal maka suami istri yang akan mendirikan Perseroan harus memisahkan hartanya dengan membuat perjanjian kawin sehingga mereka dapat bertindak sebagai 2 (dua) subjek hukum. implikasinya apabila suami istri tidak membuat perjanjian kawin, sehingga menjadikan suami istri sebagai satu subjek hukum, dan bertanggung jawab secara pribadi terhadap perikatan dan kerugian yang ditimbulkan oleh Perseroan serta menjadikan tanggungjawab PT menjadi tidak terbatas. Kedudukan harta suami istri pada Perseroan Terbatas adalah dari harta bersama yang telah dipisahkan, pemisahan hanya sebatas saham yang disetorkan sebagai modal awal pendirian Perseroan Terbatas. implikasinya terhadap terjadinya perceraian, maka saham akan tetap menjadi milik masing-masing dan tidak ada pembagiannya. Sedangkan apabila salah satu meninggal dunia akan terjadi pewarisan yang mana suami atau istri berhak atas setengah dari harta bersama, ditambah dengan hak suami atau istri dari harta warisan suami atau istri. Apabila kedua suami istri itu meninggal dunia maka terbuka pewarisan terhadap ahli waris suami atau istri. Kata Kunci : Impilkasi, Perseroan Terbatas, suami istri, harta bersama Abstract: Limited Liability Company is a legal entity which is a capital alliance and established under an agreement. From the above provisions it can be noted that in establishing a Limited Liability Company there must be at least 2 (two) people. In practice, a married couple founded a Limited Liability Company. In principle, a husband and wife cannot establish a company between them alone, because a husband and wife in a household that has no marriage agreement is in one unit of property, and they are considered as one party only. The problem that arises is how is the validity of a limited liability company established by a husband and wife? And what is the position of husband and wife assets in a Limited Liability Company? the approach method used in this study is normative juridical and data collection techniques used are by conducting interviews and literature studies conducted by studying literature books and scientific works related to this problem. The establishment of a Limited Liability Company by husband and wife is not prohibited by Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. Provided that the husband and wife who will establish a Limited Liability Company fulfill the terms of the agreement. Since a Limited Liability Company is a capital alliance, the husband and wife who will establish the Company must separate their assets by making a marriage agreement so that they can act as 2 (two) legal subjects. the implication is that if the husband and wife do not make a marriage agreement, so that the husband and wife become one legal subject, and are personally responsible for the commitments and losses incurred by the Company and make the responsibility of the PT to be unlimited. The position of husband and wife property in a Limited Liability Company is from shared assets which have been separated, the separation is only limited to the shares deposited as the initial capital for the establishment of a Limited Liability Company. the implications for divorce, the shares will continue to be the property of each and there is no distribution. Whereas if one dies there will be inheritance in which the husband or wife has the right to half of the common property, plus the right of the husband or wife from the inheritance of the husband or wife. If both husband and wife die then inheritance is open to the heirs of the husband or wife. Daftar Pustaka Buku Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1992 Adrian Sutedi, Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta:Raih Asa Sukses, 2015, Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Cet. I, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000 Ardi Hanum Bratakusuma, Kedudukan Hukum Harta Bersama Suami Istri setelah putusan Pailit, 2016 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000 Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2007, Jakarta : Jala Permataaksara, 2016 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung : Alumni, 1991 Kurniawan, Tanggung JawabPemegang Saham Perseroan Terbatas Menurut Hukum Positif, Jurnal Hukum Bisnis Universitas Mataram Kurniawan, Hukum Perusahaan (Karakteristik Badan usaha Berbadan Hukum dan tidak Berbadan Hukum di Indonesia) Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas Riduan Syahrani, Cetakan I :Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung :Alumni, 1985 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda Dalam Perkawinan, Jakarta, Raja Garfindo Persada, 2016 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas disertai dengan ulasan menurut UU No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,Cet ke I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, Bandung:CV Nuansa Aulia, 2012 Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2015 Jurnal Ardi Hanum Bratakusuma, Kedudukan Hukum Harta Bersama Suami Istri setelah putusan Pailit, 2016, Jurnal Diponegoro Law Review Christiana Tri Budhayati, Mengenal Hukum Perdata di Indonesia, Fakultas hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2017 Internet http://www.gultomlawconsultants.com/prosedur-formil-pengalihan-saham-karena-pewarisan/ (diakses Pada tanggal 30 Januari 2019, Pada jam 14.00 wib) https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1057/suami-istri-mendirikan-pt, (dikunjungi pada tanggal 28 Januari 2019, jam 17.00 wib http://old.presidentpost.id/2013/04/01/kedudukan-suami-istri-dalam-hukum-perusahaan (dikunjungi pada tanggal 14 januari 2019, jam 17.00)
Korupsi Perizinan Dalam Perjalanan Otonomi Daerah Di Indonesia Zainul Arifin; Irsan Irsan
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (433.156 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.138

Abstract

Perizinan di indonesia masih menyisakan tugas yang cukup banyak. Hal ini terkait dengan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh kepala daerah bersama dengan birokrat dalam memudahkan perizinan tambang, alih fungsi lahan dan sederet persoalan perizinan lainnya.Cukup banyak kasus korupsi perizinan yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lihat saja, berdasarkan peringkat dalam ease of doing business (EoDB) atau kemudahan berusaha 2016 versi World Bank Group, Indonesia berada pada posisi 109 dari 189 negara. Tak heran jika pemerintah berupaya "menggenjot" dengan menyederhanakan sistem perizinan.Sebab jika tidak diperbaiki sistem perizinan di daerah masih menjadi lahan empuk bagi pejabat daerah dalam melakukan korupsi perizinan, sehingga mempersulit pelaku usaha melakukan ekspansi maupun pengembangan bisnis. Kata Kunci : Korupsi Perizinan, Otonomi Daerah, Pejabat Daerah Abstract: Licensing in Indonesia still leaves a lot of tasks. This is related to the abuse of authority carried out by regional heads together with bureaucrats in facilitating mining permits, land conversion and a range of other licensing issues. There are quite a lot of licensing corruption cases handled by the Corruption Eradication Commission (KPK). Just look, based on the ranking of ease of doing business (EoDB) or business ease 2016 version of the World Bank Group, Indonesia is in the position of 109 out of 189 countries. No wonder the government seeks to "boost" by simplifying the licensing system. Because if it is not repaired, the licensing system in the regions is still an easy area for local officials to conduct licensing corruption, making it difficult for businesses to expand and develop their business. Daftar Pustaka Buku-Buku : Budi Setiyono, Memahami Korupsi Di Daerah Pasca Desentralisasi: Belajar Dari Empat Studi Kasus, Politika, Vol. 8, No. 1, April 2017. Chazawi Adami, Hukum Pidana Materil Dan Formil Korupsi Di Indonesia, Banyumedia, Malang, 2003. Muladi dan Barda Nawawi, Teori–Teori Dan Kebijakan Pidana, Cetakan ke 3, Alumni, Bandung, 2005. Natal Kristiono, Buku Ajar Otonomi Daerah, Universitas Negeri Searang, 2015. Oce Madril, Membatalkan perizinan Koruptif, Kompas Kolom Opini. Sulardi, Menyelamatkan Negara dari Bencana Korupsi, Setara Pers, 2013. Yusrianto Kadir, Membangun Zona Integritas Dalam Upaya Pencegahan Korupsi Di Kabupaten Gorontalo, Researchgate. Internet : Andi Saputra, Jejak 5 Bupati yang Terlibat Korupsi di Kasus Pengurusan Perizinan, dalam : https://news.detik.com, diakses pada tanggal 2 Januari 2018. Ika Vera Tika, Laporan Akhir Tahun 2017 Hukum dan Kriminalitas: Kepala Daerah, Korupsi, dan Modus Baru, https://www.pikiran-rakyat.com, diakses pada tanggal 2 januari 2018.
Analisis Aspek Dan Upaya Perlindungan Konsumen Fintech Syariah Basrowi Basrowi
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.868 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.134

Abstract

Penelitian ini hendak mendeskripsikan tentang: (1) bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam pemanfaatan Fintech, (2) berbagai upaya pencegahan penyalahgunaan finteh, dan (3) peran BI, OJK, dan Kemeninfokom dalam memberikan pembelajaran kepada masyarakat agar tidak terlilit utang kepada penyelenggara fintech. Metode yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah yaitu dengan pendekatan normatif dengan mempelajari berbagai dasar hukum dan literatur yang relevan. Berdasarkan hasil analisis mendalam disimpulkan bahwa: pertama, bentuk perlindungan konsumen dalam pemanfaatan fintech adalah melalui dua cara yaitu prefentif dan kuratif. Kedua, berbagai upaya mencegahan yang dapat dilakukan agar para penyelenggaran Fintech tidak menyalahgunakan aplikasinya, adalah dengan cara memberikan kewajiban untuk melakukan pelaporan kepada OJK. Ketiga, peran BI, OJK, dan Kemeninfokom dalam memberikan pembelajran kepada masayakat agar tidak terlilit utang yaitu dengan cara memberikan penyuluhan melalui pemberian iklan layanan masyarakat melaui TV, koran, radio, dan situs resmi, memperkuat literasi dan wawasan masyarakat. Kata Kunci : Financial Technology, Perlindungan Konsumen. Abstract: This study is about to describe: (1) risk analysis and other forms of Fintech consumer protection, (2) various efforts to prevent misuse of fintech, and (3) settlement of fintech business disputes. The method used to answer the problem formulation is a normative approach by studying various legal bases and relevant literature. Based on the results of the in-depth analysis it was concluded that: first, the form of consumer protection in the use of fintech is in two ways, namely prevention and curative. Second, various preventive measures that can be taken so that the organizers of Fintech do not abuse their applications, are by giving them the obligation to report to the OJK. Third, the role of Bank of Indonesia (BI), financial servises Outority (OJK), and the Ministry of Communication and Information in providing learning to people not to become debt-ridden by providing counseling through the provision of public service advertisements through television, newspapers, radio and official sites, strengthening literacy and public insight. Daftar Bacaan Alwi, A. B. (2018). Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi (Fintech) yang Berdasarkan Syariah. Al-Qanun: Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum Islam, 21(2), 255–271. Retrieved from http://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/qanun/article/view/684 Arner, D. W. (2017). Fintech: Evolution and Regulation Overview Background. Retrieved from http://docplayer.net/64391738-Fintech-evolution-and-regulation.html Chiu, Y., & Iris, H. (2016). Fintech and Disruptive Business Models in. Journal of Technology Law & Policy, 21, 55–112. Departemen Perlindungan Konsumen OJK. (2017). Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech. EY global & Europe. (2017). gence of Fintech. EY Fintech Adoption Index 2017, 1–44. Retrieved from http://www.ey.com/GL/en/Industries/Financial-Services/ey-fintech-adoption-index Hariyani, I., & Serfiyani, C. Y. (2017). Perlindungan Hukum Dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Jasa Pm-Tekfin. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3), 345–358. Muchlis, R. (2018). Analisis SWOT Financial Technology (Fintech) Pembiayaan Perbankan Syariah Di Indonesia (Studi Kasus 4 Bank Syariah Di Kota Medan). AT-TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Syariah, 1(1), 335–357. Prihatwono. (2018). ASPEK HUKUM DALAM MENJALANKAN PERUSAHAAN FINTECH LENDING DI INDONESIA. JURNAL HUKUM FINTECH, TEKNOLOGI, TELEKOMUNIKASI & PERBANKAN SYARIAH, VOLUME 1-(Juni), 1–9. Rahma, T. I. F. (2018). PERSEPSI MASYARAKAT KOTA MEDAN TERHADAP PENGGUNAAN FINANCIAL TECHNOLOGY (FINTECH). At-Tawassuth, Vol. III,(No. 1), 642 – 661. Samir, S., & Rahmizal, M. (2017). DEVELOPING ISLAMIC FINANCIAL TECHNOLOGY IN INDONESIA, 1(2), 130–140. https://doi.org/10.26487/hebr.v Sari, A. R. (2018). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI PINJAMAN DALAM PENYELENGGARAAN FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER TO PEER LENDING DI INDONESIA. YOGYAKARTA. Retrieved from http://e-journal.uajy.ac.id/14649/1/JURNAL.pdf Serfiyani C.Y & Hariyani I. (2017). Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Sistem Pembayaran Berbasis Technology Financial. Buletin Hukum Kebangsentralan, 14(1). https://doi.org/10.1242/jcs.150862 Sijabat, T. W. S. (2018). PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI OLEH FINTECH KEPADA PELAKU UKM ( Studi Pengawasan OJK Surakarta). SURAKARTA. Retrieved from http://e-journal.uajy.ac.id/14649/1/JURNAL.pdf Yuking, A. S. (2018). Urgensi peraturan perlindungan data pribadi dalam era bisnis fintech. JURNAL HUKUM & PASAR MODAL, VIII(16), 1–27.
Dimensi Hak Asasi Manusia Dalam Penanganan Kasus Pengungsi Rohingya: Pendekatan Hukum Interdisipliner M Alvi Syahrin
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (416.954 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.139

Abstract

Pemberitaan yang berkaitandenganpengungsiminoritas Rohingya Myanmar telahmenarikperhatianinternasional, setelahratusanawakkapalmelarikandiridari Myanmar danterdampar di Aceh. Menurut laporan PBB hingga Desember 2017, jumlahpengungsi Rohingya mencapai 515.000. Jumlah itu semakin bertambah mengingat konflik di Myanmar belum teratasi. Dalamartikeliniakandicermatibagaimanaperlindunganpengungsi Rohingya dalamperspektifhukuminternasionaldanhukumislam. Metodepenelitian yang digunakandalampenelitianiniadalahmetodepenelitianhukumnormatifkualitatifdenganpenalaranlogisdeduktif. Perlindunganpengungsi di bawahhukuminternasionaldiaturdalamKonvensiTahun 1951 danProtokolTahun 1967 yang mengaturprinsip-prinsipdanhakdankewajibanpengungsi. Apakahdalamhukuminternasionalatauhukumislam, prinsip yang diterapkan pada pengungsiadalahprinsipnon-refoulment. Ini menyatakan bahwa negara seharusnya tidak mengusir pencari suaka atau pengungsi memasuki wilayah itu. Prinsip ini telah menjadi hukum kebiasaan internasional sehingga harus dilaksanakan oleh semua negara. Prinsipnon-refoulementtidakhanyaterdapatdalamKonvensiTahun1951, tetapi juga secaraimplisittercantumdalamPasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 45 ayat4 dariKonvensiJenewaKeempatTahun 1949, Pasal 13 dariPerjanjianInternasionaltentangHakSipildanHakPolitikTahun 1966, daninstrumenhakasasimanusialainnya.Asas ini juga telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional. Dalam arti, sebuah negara yang belum menjadi anggota Konvensi Tahun 1951 harus menghormati prinsip non-refoulement. Menurut perlindungan pengungsi hukum Islam yang terkandung dalam QS. Al Hasyr: 9 yang berisi prinsip dan hak pencari suaka. Ada beberapa persyaratan yang harus diberikan untuk menjadi pencari suaka sesuai dengan ketentuan hukum islam. Pertama, pencari suaka berada di negara islam atau di daerah yang tunduk pada negara islam. Istilah negara islam meliputi wilayah di mana hukum islam diterapkan, dan mereka yang menghuninya, apakah muslim, non-muslim (dzimmiy) dan lain-lain, berada di bawah perlindungan islam dan dilindungi atas dasar aturan islam. Dalam hubungan ini, Abu Hanifah mengusulkan 3 (tiga) kondisi mengenai apa yang disebut negara Islam (Dar al-Islam), yaitu aturan yang diberlakukan yang berasal dari hukum islam, negara ini bersebelahan dengan negara-negara islam lainnya, dan penduduknya, baik muslim dan non-muslim, dilindungi atas dasar aturan islami. Demikian pula, perlindungan dapat diberikan, seperti yang akan kita bahas lebih lanjut, di wilayah-wilayah yang tunduk pada negara-negara Islam (seperti misi diplomatik atau kapal perang). Negara-negara pihak dan bukan peserta konvensi harus menerapkan prinsip non-refoulment yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Faktanya, Rohingya belum menerima perlindungan pengungsi di bawah hukum internasional dan hukum islam sampai sekarang. Kata Kunci: Rohingya, Pengungsi, HukumInternasional, Hukum Islam Abstract The news relating to Myanmar Rohingya minority refugees attracted international attention, after hundreds of boatmen fled Myanmar and were stranded in Aceh. According to the United Nations report until December 2017, the number of Rohingya refugees reached 515,000. The number is increasing considering the conflict in Myanmar has not been resolved. In this article will examine how the protection of Rohingya refugees in the perspective of international law and Islamic law. Theresearchmethodusedinthispaper is qualitativenormativelegalresearchmethod with deductive logical thingking.Refugee protection under international law is regulated in the 1951 Convention and 1967 Protocol governing the principles and rights and obligations of refugees. Whether in international law or islamic law, the principle applied to refugees is a non-refoulment principle. It is states that the state should not expel asylum seekers or refugees entering the territory. This principle has become an international customary law so it must be implemented by all countries. The non-refoulement principle is not only contained in the 1951 Convention, but also implicitly listed in Article 3 of the Convention Against Torture, Article 45 paragraph 4 of the Fourth Geneva Convention of 1949, Article 13 of the International Covenant Covenant on Civil and Political Rights of 1966, and other human rights instruments. This principle has also been recognized as part of international customary law. In a sense, a country that has not been a party to the 1951 Refugee Convention must respect the principle of non-refoulement. According to Islamic law refugee protection is contained in the QS. Al Hasyr: 9 which contains the principles and rights of asylum seekers. There are several requirements that must be granted to be asylum seekers in accordance with the provisions of islamic law. First, asylum seekers are located in an islamic country or in an area subject to an islamic state. The term islamic state includes the territories in which islamic law is applied, and those who inhabit it, whether muslim, non-muslim (dzimmiy) and others, are under Islamic protection and protected on the basis of islamic rules. In this connection, Abu Hanifah proposes 3 (three) conditions regarding the so called islamic state (Dar al-Islam), ie the rules enforced originating from the islamic law, the country is neighboring to other islamic countries, and its inhabitants, both muslims and non-muslims, are protected on the basis of islamic rules. Similarly, protection can be given, as we will discuss further, in areas subject to islamic countries (such as diplomatic missions or warships). States Parties and non-participants of the convention should apply the principle of non-refoulment which has become customary international law. In fact, the Rohingya has not received refugee protection under international law and islamic law till now. Daftar Pustaka Buku Al-Mubin. 2012. Al-Quran dan Terjemahan. Pustaka Al-Mubin. Abu Wafa’, Ahmad. 2011. Hak Pencarian Suaka dalam Syariat Islam dan Hukum Interna-sional (Suatu kajian Perbandingan). Ter-jemahan oleh Dr. Asmawi dkk. UNHCR. Ardhiswastra, Yudha Bhakti. 2008. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Alumni. Erwin, M. and Busroh, F.F., 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Refika Aditama. Bandung. Fahroy, C.A. and Syahrin, M.A., 2016. Antara Batas Imajiner dan Kedaulatan Negara. Imigrasi di Batas Imajiner, Jakarta: Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Soekarno Hatta. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. (2013). Pengantar Hukum Internasional. Alumni. Nasution, M. Arif. 2016. Globalisasi dan Migrasi Antar Negara. Alumni. Santoso, M. Iman. 2014. Perspektif Imigrasi dalam Migrasi Manusia. Pustaka Reka Cipta. Jurnal Ilmiah Allain, Jean. 2002. The Jus Cogens Nature of Non Refoulment, International Journal of Refugee Law, 538. Betts, Alexander. 2010. Towards a soft Law Framework for the Protection of Vunarable Irregular Migrants. International Journal of Refugee Law, 210. Handayani, Irawati. 2002. Perlindungan terhadap Pengungsi Domestik (Internally Displaced Persons) dalam Sengketa Bersenjata Internal Menurut Hukum Internasional. Jurnal Hukum InternasionaI, 158. Hasanah, Uswatun. 2010. Human Rights in The Perspective of Islamic Law. Jurnal Hukum Internasional, 718. Havid, Ajat Sudrajat. 2004) Pengungsi dalam Kerangka Kebijakan Keimigrasian Indonesia Kini dan yang akan Datang”. Jurnal Hukum Internasional, 88. Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Panjaitan, Saut P. Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Asas, Pengertian, dan Sistematika. Penerbit Universitas Sriwijaya. Rismayanti, Irma D. 2009. Manusia Perahu Rohingya: Tantangan Penegakan HAM di ASEAN. Opinio Juris, 16 Riyanto, Sigit. 2010. The Refoulement Principle and Its Relevance in the International Law System. Jurnal Hukum Internasional, 697. Suwardi, Sri Setianingsih. 2004. Aspek Hukum Masalah Pengungsi Internasional. Jurnal Hukum Internasional, 35. Syahrin, M.A., 2017. Refleksi Teoretik E-Contract: Hukum yang Berlaku dalam Sengketa Transaksi Bisnis Internasional yang Menggunakan E-Commerce. Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 3(2). Syahrin, M.A., 2017. Actio Pauliana: Konsep Hukum dan Problematikanya. Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 4(1). Syahrin, M.A., 2017. Penerapan Hukum Deteni Tanpa Kewarganegaraan (Stateless) yang Ditahan Lebih Dari 10 (Sepuluh) Tahun di Rumah Detensi Imigrasi Jakarta. Fiat Justicia, 3(2). Syahrin, M.A., 2017. The Implementation of Non-Refoulement Principle to the Asylum Seekers and Refugees in Indonesia. Sriwijaya Law Review, 1, pp.168-178. Syahrin, M.A., 2018. Menakar Kedaulatan Negara dalam Perspektif Keimigrasian. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 18(1), pp.43-57. Syahrin, M.A., 2018. Aspek Hukum Laboratorium Forensik Keimigrasian: Studi Kasus Pemeriksaan Paspor Palsu Kebangsaan Inggris atas nama Abbas Tauqeer. Akta Yudisia, 3(1). Syahrin, M.A., et al. 2018. Legal Impacts of The Existence of Refugees and Asylum Seekers in Indonesia. IJCIET, 9(5). Syahrin, M.A., 2018. Penentuan Forum Yang Berwenang Dan Model Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internasional Menggunakan E-Commerce: Studi Kepastian Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 7(2), pp.207-228. Syahrin, M.A., 2018, September. Penerapan Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian. In Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang (Vol. 4, No. 01, pp. 25-49). Syahrin, M.A., 2018. The Immigration Crime and Policy: Implementation of PPNS Authorities on Investigation. Journal of Indonesian Legal Studies, 3(02), pp.175-194. Lainnya Syahrin, M.A., 2014. Penyadapan oleh Australia, Saatnya Imigrasi Bersikap. Bhumi Pura, 1(1), pp.30-35. Syahrin, M.A., 2015. Imigran Ilegal, Migrasi atau Ekspansi?. Checkpoint, 3(1), pp.29-31. Syahrin, M.A., 2015. Hak Asasi Bermigrasi. Bhumi Pura, 11(1), pp.45-48. Syahrin, M.A., 2016. Eksodus Warga Negara Tiongkok: Antara Kebijakan dan Penyelundupan. Bhumi Pura, 6(1), pp.38-40. Syahrin, M.A., 2017. Imigran Ilegal dan HAM Universal. Bhumi Pura, 5(1), pp.29-34. Syahrin, M.A., 2018. Pembatasan Prinsip Non-Refoulement. Bhumi Pura, 1(1), pp.12-16. Syahrin, M.A., 2018. Jus Cogens dalam Protokol Penyelundupan Migran Tahun 2000. Bhumi Pura, 2(1), pp.13-16. Peraturan Perundang-Undangan Konvensi Tahun 1949 tentang Korban Perlindungan Perang terhadap Warga Sipil. Konvensi Tahun 1984 Anti Penyiksaan. Konvensi Tahun 1966 tentang Hak Sipil dan Hak Politik. Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Protokol Tahun 1967 tentang Status Pengungsi.
Efektifitas Aplikasi Konvensi Tokyo 1963 Dan Protokol Montreal 2014 Terhadap Unruly Passenger Case Dalam Dunia Penerbangan kurniawijaya, aditya; Latifah, Emmy
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.725 KB)

Abstract

Peraturan yang berlaku di dalam pesawat penerbangan dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hal-hal apa saja yang harus dan tidak boleh dilakukan ketika berada dalam pesawat penerbangan. Peraturan yang sudah ada ini tak terlepas dari pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di dalam pesawat. Kasus penumpang yang tidak mematuhi aturan atau dikenal dengan unruly passenger merupakan sebuah contoh pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di dalam pesawat. Konvensi Tokyo 1963 menjadi jawaban dalam mengatasi kasus unruly passenger tersebut. Namun, kandungan dari Konvensi Tokyo 1963 pada kenyataannya belum mampu menangani seluruh masalah terkait unruly passenger. Melihat hal tersebut, ICAO mengamandemen Konvensi Tokyo 1963 untuk memperkuat dasar hukum bagi maskapai dalam menangani kasus unruly passenger, hingga akhirnya menghasilkan Protocol to Amend the Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft atau dikenal sebagai Protokol Montreal 2014. Keberadaan Konvensi Tokyo 1963 dan Protokol Montreal 2014 ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan terkait unruly passenger dalam dunia penerbangan. Abstract: Regulations in aviation aircraft intended to comply with the community things what should and should not do when the aircraft is in flight. Existing regulations did not in spite of the breach of the rules that apply in the aircraft. The case of passengers who do not comply with the rules or known by the unruly passenger is an example of a breach of the rules that apply in the aircraft. Tokyo Convention 1963 be the answer in addressing the case of unruly passenger. However, the content of the Tokyo Convention 1963 in fact haven't been able to handle the whole issue related unruly passenger. Seeing this, ICAO amending the Tokyo Convention 1963 to strengthen the legal basis for the airline in dealing with the unruly passenger, and the case eventually led to a Protocol to Amend the Convention on Offenses and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft known as the Montreal Protocol 2014. The existence of the Tokyo Convention 1963 and Montreal Protocol 2014 is expected to address the problem of unruly passenger related in the world of aviation. Keywords : Unruly Passenger, Tokyo Convention 1963, Montreal Protocol 2014 Daftar Pustaka Buku Aust, Anthony. 2010. Handbook of International Law (Second Edition). New York: Cambridge University Press. International Air Traffic Association (IATA). 2012. Guidance on Unruly Passenger Prevention and Management. Martono, H.K. 1987. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa. Bandung: PT Alumni. Martono, H.K. dan Sudiro, Amad. 2012. Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo. Mendes de Leon, Pablo. 2012. An Introduction to Air Law (Ninth Revised Edition). Kluwer Law International BV. Sinaga, Bintatar. 2001. Kejahatan Terorisme dalam Jurnal Keadilan. Vol.1 Nomor 4. Shubber, S. 1973. Jurisdiction Over Crimes on Board Aircraft. The Hague: Martinus Nijhoff. Jurnal Aggarwala, N. 1971. “Political Aspects of Hijacking” dalam International Conciliation Vol. 585. Fenello, M.J.1971. “Technical Prevention of Air Piracy” dalam International Conciliation 30 Vol. 585. Gerald, F.F.G.1969. “Development of Intenational Legal Rules for the Repression of the Unlawful Seizure of Aircraft” dalam The Canadian Yearbook of International Law Vol.7. Green, L.C. 1975. “Extradition vs Asylum for Aerial Hijacking” dalam Israel Law Review Vol,10. Ivan, A.E. 1969. “Air Hijacking: its Cause and Cure” dalam American Journal of Intern,ational Law 700 Vol.63. Kieken P.J, Van. 1975.“Hijacking and Asylum” dalam The Netherlands International Law Review 6 Vol. 22. Loy, F.E. 1970. “Some International Approaches to Dealing With Air Hijacking” dalam International Lawyer Vol.4. Rein, B. 1971. “A Government Perspective” dalam Journal of Air Law and Commerce Vol. 37. Samuel A. 1967. “Crimes Committed on Board Aircraft: Tokyo Convention Act” dalam British Yearbook of International Law Vol 42. Samuel A. 1971. “The Legal Problems: An Introduction” dalam Journal of Air and Commerce 163 Vol. 37. Stephen J.E. 1970. “Air piracy and Unlawful With Air Commerce” dalam International Lawyer 442 Vol. 4. Konvensi Internasional Convention on International Civil Aviation, ditandatangani di Chicago pada 7 December 1944. Convention on Offences and Certain Other Act Committed on Board Aircraft, ditandatangani di Tokyo pada 14 September 1963. Convention for the Suppression of Lawful Seizure of Aircraft, ditandatangani di Den Haag pada 16 Desember 1970. Protocol to Amend the Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft, ditandatangani di Montreal pada 4 April 2014. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Ratifikasi Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970, dan Konvensi Montreal 1971 (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3077). Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Berkaitan dengan Perluasan Berlakunya Terhadap Pesawat Udara. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956. Web Hentje Pongoh, Maskapai Penerbangan Berhak Menurunkan Penumpang Indisipliner, da-lam : https://www.kompasiana.com, diakses pada 11 November 2018 pukul 09.21 WIB. ICAO, Current Lists of Parties to Multilateral Air Law Treaties, dalam : http://www.icao.int, diakses pada 10 November 2018 pukul 19.31 WIB. Icha Rastika, Penumpang Mabuk di Virgin Australia Dipulangkan, dalam : https://nasional.kompas.com, diakses pada 8 November 2018 pukul 22.17 WIB.
Optimalisasi Peran Masyarakat Dalam Menjaga Pencemaran Sungai Di Kota Bandar Lampung Raja Agung Kusuma Arcaropeboka
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.898 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.141

Abstract

Pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar 1945, terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak azasi dan dalam hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia, untuk itu negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan, berkewajiban melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, agar lingkungan hidup dapat terpelihara dan menjadi sumber maupun sebagai penunjang bagi mahluk hidup di Indonesia. Air sebagai konponen sumber daya alam yang sangat penting, maka harus dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, dimana penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan secara bijak dengan memperhatikan kepentingan generasi, masa kini dan masa yang akan datang. selain itu air perlu dikelola agar tersedia jumlah air yang aman, baik secara kuantitas maupun kualitas selain itu bermanfaat bagi kehidupan dan perikehidupan manusia secara makhluk hidup lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terutama air, menuntut perkembangan suatu sistem yang terpadu, berupa suatu kebijakan nasional terhadap perlindungan dan pengelola lingkungan hidup yang dilaksanakan secara taat azas dan konsekuen dari pusat sampai daerah. Guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan agar air dapat bermanfaat lestari dan pembangunan berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan perlu dilakukan pengelolaan air dan pengelolaan pencemaran air secara bersama-sama antara pemerintah, maupun pemerintah profinsi dan kabupaten/kota dan masyarakat. Kata Kunci :Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, Program pemerintah, Sumber air, Peran masyarakat Abstract The implementation of the 1945 Constitution, for a good and healthy environment is a human right and in the constitutional rights of every Indonesian citizen, for which the state, government and all stakeholders are obliged to protect and manage the environment in the implementation of sustainable development , so that the environment can be maintained and become a source as well as support for living things in Indonesia. Water as a very important component of natural resources must be used as much as possible for the prosperity of the people, where the use of water for various benefits and interests must be done wisely by taking into account the interests of the present, future generations. besides that water needs to be managed so that the available amount of safe water, both in quantity and quality besides that is beneficial for human life and life in other living things in order to remain ecologically functioning. Protection and management of the environment, especially water, requires the development of an integrated system, in the form of a national policy on the protection and management of the environment carried out in a consistent and consistent manner from the center to the regions. in order to support sustainable development so that water can be sustainable and sustainable, then in the implementation of development it is necessary to carry out water management and management of water pollution together between the government and the provincial and district / city governments and the community. Daftar Pustaka Buku : Koesnadi Hardjasoemantri, 1999 Hukum Tata Lingkungan, Ed. VII, Cet. XVIII, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Mahbud, Badarudin, 1980, Pengelolaan Kualitas Air Di Dalam Sistem Tata Guna Air, Simposium Kualitas Air Dan Pembangunan, Bogor, Sodikin, 2018, Penegakan Hukum Lingkungan, Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungann dan Pengelola Lingkungan Hidup, In Media, Bogor Philipus M. Hadjon, 1994, Pengantar Hukum Administari Indonesia, (Introduction The Indonesia Administrative Law), Gajah Mada University, Yogyakarta Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001,Tentang Pengelolaan kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2000 Tentang Pembinaan Umum, Ketertiban Keamanan, Kesehatan, Dan Kapikan Dalam wilayah Kota Bandar Lampung. Wawancara : Wawancara dengan Kepala Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung, Sahriwon, tanggal 28, Januari 2019.
Memperkuat Kpk, Memberantas Korupsi Bernadus Barat Daya
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.409 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.137

Abstract

Korupsi adalah kejahatan yang sangat buruk. Oleh karena itu, penanganan tindak pidana korupsi tidak hanya seraca konvensional, tetapi harus dilakukan dengan cara tertentu, yang memerlukan pendekatan khusus. Di Indonesia, KPK adalah lembaga pendukung dengan kekuatan luar biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ide pembentukan KPK di provinsi adalah kebutuhan prioritas dan solusi realistis untuk situasi Indonesia saat ini. Keadaan Indonesia selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa tren korupsi di daerah telah meningkat tajam. Pemerintah daerah yang mengendalikan kekuasaan dan pengelolaan pemerintahan sebenarnya telah melakukan banyak praktik korupsi. Keberadaan KPK yang hanya terletak di ibu kota negara tidak dapat menutupi penanganan kasus korupsi di semua daerah. Wilayah Indonesia yang luas, dengan 34 provinsi dan 514 kabupaten / kota, telah mempersulit KPK untuk memberantas korupsi di berbagai daerah. Kondisi ini diperburuk dengan terbatasnya jumlah personil yang dimiliki oleh KPK. Jumlah personel KPK yang kecil tidak sebanding dengan jumlah total wilayah pemerintah daerah di Indonesia. Di sisi lain, kinerja penegakan hukum seperti Kejaksaan dan Polisi juga tidak dimaksimalkan dalam mencegah dan menuntut kasus korupsi. Sejauh ini, lembaga yang diyakini mampu menangani korupsi adalah KPK. Pembentukan KPK daerah bukan untuk mengambil alih tugas dari Kejaksaan dan Kepolisian, tetapi bertujuan untuk mensinergikan kekuatan sumber daya di kedua lembaga, sambil memaksimalkan pemberantasan korupsi di daerah secara efektif. Kata Kunci : KPK, Memberantas Korupsi Abstract: Corruption is an abysmal crime. Therefore, the handling of criminal acts of corruption can not only be conventional, but it must be done in particular ways, which requires a specific approach. In Indonesia, KPK is a supporting institution with a stupendous power. With that special authority, it is possible for KPK to be more effective in combating corruption. This study deals with the issue of corruption with a focus on corruption cases in the region. Research is conducted to identify and offer the right alternative and effective solution to prevent and crackdown on corruption practice. Field research was conducted to determine the level of urgency, responsiveness, perception and expectations of the society on the discourse of local KPK establishment. The approach used is normative-empirical, focusing more on the phenomenon of corruption, both at the level of local government and central government. The data was obtained, from the results of field research (primary) and the literature study (secondary and tertiary). The results show that the idea of establishing KPK in the provinces is the priority needs and realistic solutions for the current Indonesian situation. The state of Indonesia over the past ten years shows that the trend of corruption in the regions has increased sharply. The local government controlling the power and management of governance has actually done a lot of corrupt practices. The existence of the KPK that is only located in the state capital cannot cover the handling of corruption cases in all regions. Indonesia's vast territory, with 34 provinces and 514 districts/cities, has made it difficult for the KPK to combat corruption in various regions. This condition is exacerbated by the limited number of personnel owned by KPK. The small number of KPK personnel is not very proportional to the total number of local government areas in Indonesia. On the other hand, the performance of law enforcement such as Attorney and Police is also not maximized in preventing and prosecuting corruption cases. So far, the institution that is believed to be able to handle corruption is KPK. The establishment of regional KPK is not to take over the duties of the Public Prosecution Service and the Police, but it aims to synergize the power of resources at both institutions, while maximizing corruption eradication in the regions effectively. If the KPK, the Attorney and the Police cooperate are able to synergize, the results will be very positive for the efforts to combat corruption in the region. From the aspect of legality, the establishment of regional KPK is the implementation of Article 19 paragraph 2 of Law Number 30 Year 2002 concerning KPK. Similarly, the position of KPK institutions has been in line with the Indonesian constitutional law. Therefore, KPK needs to strengthen and expand its institutional existence. The presence of regional KPK will accelerate the realization of good and clean governance. Daftar Pustaka Buku dan Jurnal: Andi Hamzah, 2002, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Jakarta, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti. Artijo Alkostar, “Korupsi Sebagai Extra Ordinary Crime”, Training Pengarusutamaan Pendekatan Hak Asasi Manusia Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Bagi Hakim Seluruh Indonesia, 18-21 November 2013 Arya Maheka, 2006, ”Mengenali dan Memberantas Korupsi’ Penerbit KPK, Jakarta, dan Ainan dan Arya Maheka, 1982, Grasindo, Jakarta. Arrsa, Ria Casmi, 2014, Rekonstruksi Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Melalui Strategi Penguatan Penyidik dan Penuntut Umum Independen KPK, Jakarta, Jurnal Rechtsvinding Vol. 3 No. 3 Tahun 2014. Dirman, 2012, Analisis-Status-Dan-Kedudukan-KPK, Jakarta, Press. Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, 2013, Basa-basi Dana Kampanye, Jakarta, Perludem. Elwi Danil, 2011, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, cetakan ke-3, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Ermansyah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Sinar Grafiika, Jakarta, hal. XX. Faisal Santiago, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Kajian Legal Sosiologis, Jurnal Ilmu Hukum Lex Publica, 2014. Faisal Santiago, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Penegak Hukum Untuk Terciptanya Ketertiban Hukum, Pagaruyuang Law Journal Vol.1 (1), 2017. Faisal Santiago, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Cintya Press, 2014 Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika. Muqodas Busyro, 2011, Supervisi dan Koordinasi KPK. Jakarta, JCLEC. Saldi Isra, 2009, Sepuluh Tahun Otonomi Daerah: Kemajuan dan Persoalan Pemberantasan Korupsi di Daerah, Makalah Seminar Nasional, Padang Ekspres. Suyatno, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Tanzi, Vito, 1998, Corruption Around The World: Causes, Consequences, Scope and Cures, IMF Working Paper, WP/98/63, Mei 1998 UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime), 2013, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2013, Jakarta, UNODC Indonesia Office. Peraturan Perundang-Undangan: UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150); UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250); UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558); UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Internet: Survey Transparency International (TI) www. kpk.go.id
TELAAH KRITIS PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DALAM MEREDUKSI TINDAK PIDANA PEREDARAN NARKOTIKA YANG MENJADIKAN ANAK DIBAWAH UMUR MENJADI KURIR NARKOTIKA Darmadi Djufri; Derry Angling Kesuma
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v5i2.798

Abstract

Abstrak Upaya refresive Badan Narkotika Nasional untuk mereduksi peredaran narkotika yang menjadikan anak dibawah umur menjadi kurir narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai berikut: a. melakukan Razia, b. Operasi pemberantasan penyelundupan narkoba, c. Terapi/pegobatan dan rehabilitasi terhadap pecandu narkoba. Faktor-faktor penghambat dalam pemberantasan tindak pidana narkotika secara umum meliputi faktor dari segi padatnya jumlah penduduk Indonesia, faktor dari segi letak geografis negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, kendala dari segi rehabilitasi, faktor dari segi penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. selain itu adapun yang menjadi kendala dalam pemberantasan perantara narkotika meliputi faktor dari segi modus operandi yang digunakan semakin canggih sehingga sulit untuk dilacak oleh petugas, faktor dari segi teknologi informasi aparat penegak hukum yang masih terbatas, dimana teknologi yang dimilki oleh aparat penegak hukum tidak sebanding dengan perkembangan teknologi yang semikin canggih yang dimilki oleh perantara narkotika. Kata Kunci : Penegakan Hukum, Anak, Narkotika Abstract Refresive efforts by the National Narcotics Agency to reduce the circulation of narcotics which turns minors into narcotics couriers based on Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics as follows: a. conduct raids, b. Operations to eradicate drug smuggling, c. Therapy / treatment and rehabilitation of drug addicts.Inhibiting factors in eradicating narcotics crimes in general include factors in terms of the dense population of Indonesia, factors in terms of the geographic location of Indonesia which is an archipelagic country, obstacles in terms of rehabilitation, factors in terms of implementation of Law Number 35 of 2009 In addition, the obstacles in eradicating narcotics intermediaries include factors in terms of the modus operandi used which is increasingly sophisticated making it difficult for officers to track them, factors in terms of law enforcement officers' information technology which is still limited, where the technology owned by law enforcement officers is not comparable with the development of increasingly sophisticated technology owned by narcotics intermediaries.

Page 1 of 1 | Total Record : 9